Pernah nggak sih kamu berandai-andai bekerja di big company sekelas Shopee, Google, atau unicorn lainnya? Pernah bermimpi menjadi bagian dari hiruk-pikuk ibu kota Jakarta? Pasti pernah. Aku pun begitu.
Saat menyusun skripsi, di sela-sela istirahat, aku sering membayangkan betapa asyiknya bekerja di Jakarta. Jauh dari rumah, hidup mandiri, dan merasakan serunya jadi anak kos. Tapi, angan-angan itu seketika lenyap begitu aku dinyatakan lulus. Setiap hari aku mengirim lamaran ke berbagai perusahaan besar di Jakarta, berharap mimpi itu terwujud. Hasilnya? Nihil. Jangankan panggilan wawancara, lamaranku malah berakhir kedaluwarsa (expired) tanpa kabar.
Hari berganti hari, tenggat waktu pembayaran wisuda semakin mencekik. Aku yang berharap bisa membayar biaya wisuda sendiri mulai panik. Rasa desperate pun muncul. Prinsipku berubah jadi: “Lamar aja semuanya yang ada!”. Dari perusahaan raksasa sampai rintisan, semua posisi aku sikat. Ada yang nyangkut? Ada, tapi perusahaan pialang yang nggak sengaja aku lamar (hehe, se-desperate apa pun, aku tetap skip kalau yang ini).
Pelan-pelan, pilar gengsiku runtuh. “Di mana pun nggak apa-apa, asal perusahaannya jelas dan bisa buat makan.”
Satu pelajaran berharga dari masa pengangguranku adalah: Gengsi tidak bisa buat makan. Bahkan saat wawancara kerja dan ditanya “Emang kamu tidak malu kerja di ruko?” oleh Pak Bos, aku menjawab kalimat itu dengan jujur (dan untungnya diterima, haha).
Pikirku, buat apa kerja di big company atau di Jakarta kalau gajinya nggak beda jauh, tapi biaya hidupnya selangit? Toh, sama-sama bekerja. Sudut pandangku mulai terbuka. Pekerjaan itu esensinya sama saja—mau pegawai SPBU, penjaga toko, atau petugas kebersihan. Kita sama-sama berjuang dan mereka tidak gengsi akan hal itu.
Terkadang, kita memang harus menurunkan standar. Bermimpi boleh, nggak ada yang salah ingin kerja di perusahaan bonafide. Tapi kerja keras saja nggak cukup, harus didampingi skill dan pengalaman mumpuni—yang mungkin saat itu aku belum capable di sana.
Maka dari itu, ketika melihat temanku masih berusaha melamar pekerjaan sesuai passion-nya, aku salut. Tapi pas lihat perusahaan tempat dia melamar… jiakhhhh. Terlebih saat melihat CV-nya, aku sampai tepok jidat. CV-nya masih seperti buatan anak SMA.
Walau begitu, aku tetap bantu dia sambil mengingatkan: coba dulu keluar jalur sedikit itu nggak apa-apa. Nggak apa-apa lho kerja di luar Jakarta, Bekasi enak loh (promosi dikit). Coba cari yang sesuai kemampuan dulu. Toh, skill dan pengalaman yang sesuai passion bisa kamu kembangkan seiring berjalannya waktu dengan ikut course
Ingat, buat apa memelihara gengsi? Gengsi nggak bikin kenyang.