Pagi yang Tak Biasa

Pagi ini bukan pagi seperti biasanya. Aku tetap bangun seperti biasa, berangkat seperti biasa, tapi yang “luar biasa” hari ini adalah kemacetannya.

Biasanya aku berangkat sekitar jam 06.30-an. Estimasi ke kantor sekitar satu jam, jadi sengaja berangkat lebih pagi buat antisipasi kemacetan kota. Tapi, ada satu hal yang aku lupa: penutupan jalan.

Ternyata ada penutupan di jalan yang biasa aku lalui. Aku pun mencoba lewat jalan tikus sebagai alternatif menuju Kalimalang. Tapi siapa sangka, kemacetan pertama yang aku lalui justru berada di situ.

Gang yang sempit itu dipenuhi motor lalu-lalang, bahkan mobil yang belum tentu muat dua jalur memaksa masuk. Butuh waktu lumayan lama cuma untuk bisa keluar dari gang itu karena jalur motor hanya satu baris. Kalau kamu pikir penderitaan selesai di situ, oh tidak, masih ada ronde berikutnya.

Di Kalimalang, yang aku pikir jalannya sudah lancar, ternyata malah jadi awal dari jebakan macet selanjutnya. Motor, mobil, hingga truk tidak bisa jalan. Sopir-sopir truk mungkin sudah pasrah; terlihat dari gelagat mereka yang mematikan mesin kendaraan dan cuma duduk di pinggir jalan sambil merokok.

Aku tertahan di sana lumayan lama karena tidak ada jalur putar baliknya juga. Bahkan, aku sempat mengabari tim HC mengenai keterlambatanku. Sampai akhirnya ada jalur putar balik, aku memikirkan dua opsi:

“Apakah tetap lurus tapi lawan arah sedikit (jangan ditiru) atau putar balik lewat jalan lain?”

Jawabannya? Yah, aku tetap lurus dengan harapan jalanan di depan sudah lancar. Tapi apa yang aku dapat? Baru beberapa ratus meter jalan, motorku sudah berhenti lagi karena jalur balik pun penuh dengan motor-motor yang searah denganku (melawan arus). Sudah tidak ada harapan, akhirnya kuputuskan untuk putar balik.

Berlika-liku belokan kulalui dengan kecepatan tinggi dengan harapan masih sempat. Tapi saat aku belum ada setengah jalan, jam sudah menunjukkan pukul 07.49.

“Alamak, telat sudah…”

Sempat terlintas di benakku, “Pulang aja kali, ya?” Tapi sebagai orang yang bertanggung jawab, aku terus melaju menarik gas dengan kecepatan stabil di 60km/h sambil berharap motorku bisa terbang langsung ke tujuan dalam waktu satu menit.

Akhirnya sampai di tujuan pukul 08.19. Aku langsung deg-degan dan panik. Karena aku orang yang sangat menghargai waktu, bisa telat seperti ini rasanya adalah sebuah kegagalan. Meskipun terdengar lebay, tapi aku memang sedikit terpuruk karena belum pernah telat separah ini. Biasanya semua sudah terkalkulasi, tapi kali ini miss-nya banyak banget.

Dari drama pagi ini, aku belajar kalau jalanan itu emang penuh kejutan yang nggak bisa selalu diprediksi, bahkan sama Google Maps sekalipun. Perhitungan waktu yang biasanya pas, hari ini kalah telak sama realita lapangan.

Jadi, apa solusinya buat besok? Opsinya cuma dua.

Pertama, aku harus berdamai dengan kenyataan dan berangkat jauh lebih pagi lagi, mungkin sebelum matahari terbit biar aman. Atau opsi kedua yang lebih ekstrem tapi menggoda: mengungsi.

Kebetulan ada rumah saudara di Tambun. Apa aku numpang nginep di sana aja ya selama sebulan? Lumayan kan, memangkas jarak tempuh dan menghindari drama Kalimalang yang bikin elus dada.

Intinya, kegagalan hari ini dimaafkan, tapi besok harus lebih baik lagi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top